TIMES TANGERANG, TANGERANG – Tragedi kemanusiaan di Palestina bukan sekadar konflik bersenjata, melainkan bentuk kejahatan kemanusiaan dan genosida yang terjadi di depan mata dunia. Serangan demi serangan menghancurkan kehidupan rakyat Palestina, memusnahkan generasi, dan meruntuhkan peradaban.
Sementara itu, kepentingan politik global kerap menenggelamkan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi dasar bertindak. Suara rakyat sipil yang berteriak menuntut keadilan sering kali tidak mendapat ruang, sementara derita Palestina justru semakin dalam setiap harinya. Luka itu bukan hanya milik bangsa Palestina, tetapi milik seluruh dunia yang masih memiliki hati nurani.
Selama puluhan tahun, rakyat Palestina hidup dalam ketakutan dan penindasan. Mereka dirampas tanahnya, dibatasi geraknya, diblokade akses pangannya, hingga dibombardir secara brutal.
Laporan lembaga kemanusiaan internasional mencatat ribuan korban jiwa dalam rentang waktu singkat, mayoritas perempuan dan anak-anak. Tidak ada tempat yang benar-benar aman. Rumah sakit, sekolah, masjid, pusat pengungsian, hingga ambulans menjadi sasaran.
Fakta ini memperlihatkan bahwa yang terjadi bukanlah perang dua pihak yang seimbang, melainkan kekuatan militer yang sangat timpang berhadap-hadapan dengan rakyat yang hanya mempertahankan hak hidupnya.
Dunia menyaksikan bagaimana rakyat Palestina terus berjuang mempertahankan martabat mereka, meskipun realitas yang dihadapi begitu brutal. Namun seruan kemanusiaan yang disuarakan masyarakat dunia tidak selalu berbanding lurus dengan langkah tegas negara-negara berpengaruh.
Banyak pemerintah mengambil posisi aman demi kepentingan diplomatik, sementara setiap hari angka korban terus bertambah. Ini menunjukkan bahwa tragedi Palestina bukan hanya persoalan politik internasional, tetapi pelanggaran berat hak asasi manusia yang menuntut tanggung jawab global.
Salah satu gambaran paling memilukan adalah situasi di Jalur Gaza, wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia. Di tempat yang sempit itu, ribuan bom dijatuhkan tanpa pandang bulu, menghancurkan keluarga dalam hitungan detik. Anak-anak tertimbun puing ketika bangunan tempat mereka berlindung runtuh.
Rumah sakit kewalahan merawat korban, tetapi listrik terputus dan obat-obatan tidak bisa masuk karena blokade. Penderitaan seperti ini bukan sekadar tragedi kemanusiaan; ia adalah kesengajaan struktural yang bertujuan melumpuhkan sebuah bangsa hingga ke tulang sumsum.
Tidak berhenti di situ, kamp-kamp pengungsian yang sudah berdiri puluhan tahun satu-satunya tempat bertahan bagi rakyat yang terusir dari tanah leluhurnya ikut dihancurkan. Konvoi bantuan kemanusiaan yang seharusnya dilindungi justru ditembaki.
Bahkan wartawan dan tenaga medis yang berniat menyelamatkan nyawa ikut menjadi korban. Rangkaian kejadian ini memperkuat penegasan para ahli dan lembaga internasional bahwa Palestina sedang menghadapi genosida, bukan sekadar konflik atau perang konvensional.
Seruan penghentian kekerasan datang dari berbagai pemimpin dunia, aktivis, organisasi kemanusiaan, dan lembaga internasional. Human Rights Watch dan Amnesty International secara berulang mempublikasikan laporan mengenai pola serangan yang menjurus pada kejahatan genosida.
Dalam perspektif moral, tragedi Palestina adalah tanggung jawab seluruh umat manusia. Hak hidup, hak perlindungan anak, dan hak atas keamanan seharusnya berlaku untuk semua orang tanpa kecuali. Namun rakyat Palestina berkali-kali diperlakukan seolah hidup mereka tidak bernilai, seolah penderitaan mereka dapat diterima sebagai “harga sampingan” dari permainan politik internasional.
Kontras dengan sikap negara-negara besar yang setengah hati, gelombang solidaritas global dari masyarakat sipil menunjukkan wajah lain umat manusia. Demonstrasi besar di berbagai negara, gerakan donasi internasional, kampanye digital, hingga aksi boikot produk yang terkait agresor, menjadi bukti bahwa nurani dunia belum mati.
Di tengah kelumpuhan diplomasi elite, masyarakat sipil membuktikan bahwa suara keadilan dapat bergerak dari bawah. Solidaritas ini menyediakan harapan, sekaligus memperingatkan bahwa pembelaan terhadap Palestina bukan sekadar sikap politik, tetapi sikap kemanusiaan.
Apa yang terjadi di Palestina seharusnya menjadi cermin bagi seluruh bangsa di dunia. Ketika kemanusiaan kalah oleh kepentingan politik, kita sedang membolehkan kejahatan terulang lagi di masa depan.
Dunia membutuhkan keberanian moral untuk menyebut tragedi ini dengan istilah yang sebenarnya: genosida. Menghindar dari istilah itu berarti mengabaikan kebenaran dan menyalakan lampu hijau bagi pelanggaran yang lebih kejam.
Sebagai generasi muda, kita mungkin tidak berada di garis depan perjuangan Palestina. Kita tidak memikul korban dari reruntuhan bangunan, tidak mengevakuasi anak-anak di tengah dentuman bom. Namun suara kita tetap memiliki arti.
Di ruang publik, di media sosial, di kampus, dan melalui tulisan seperti opini ini, kita bisa membuka mata lebih banyak orang agar tragedi ini tidak terus dinormalisasi. Tugas kita bukan hanya bersimpati, tetapi mengupayakan kesadaran kolektif yang mendorong dunia bertindak lebih berani.
Keadilan untuk Palestina mungkin tampak jauh. Tetapi setiap langkah kecil satu kampanye, satu aksi solidaritas, satu tulisan berkontribusi pada perubahan. Palestina telah terbakar terlalu lama.
Kini saatnya dunia berdiri lebih tegas, lebih lantang, dan lebih berani. Jika kemanusiaan benar-benar menjadi nilai universal, maka tidak boleh ada satu bangsa pun yang dibiarkan musnah tanpa pembelaan. (*)
***
*) Oleh : Sabrina Fadillah, Mahasiswa Universitas Pamulang, Program Studi Ekonomi Syariah.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |