TIMES TANGERANG, TANGERANG – Bencana banjir dan tanah longsor yang menerjang Aceh serta sejumlah wilayah Sumatera pada akhir 2025 meninggalkan duka mendalam sekaligus menimbulkan pertanyaan besar tentang kerusakan lingkungan yang memperparah dampaknya.
Ribuan warga mengungsi, rumah luluh lantak, dan banyak keluarga kehilangan anggota tercinta. Namun yang mengejutkan, di tengah suasana berduka itu, diskusi publik justru berubah menjadi perdebatan panas mengenai siapa yang patut disalahkan.
Nama Zulkifli Hasan atau akrab disapa Zulhas kembali menyeruak ke permukaan. Mantan Menteri Kehutanan periode 2009–2014 itu mendadak menjadi sorotan setelah potongan video dokumenter lama yang menampilkan aktor Hollywood Harrison Ford sedang mengkritisi kerusakan hutan Indonesia ketika berbincang dengan Zulhas kembali viral.
Tanpa menunggu klarifikasi dan tanpa upaya verifikasi, publik langsung menghubungkan potongan video tersebut dengan bencana Aceh. Narasi singkat pun terbentuk: kerusakan hutan adalah warisan dari kebijakan masa lalu dan kebetulan, figur yang paling mudah ditarik ke dalam perdebatan adalah Zulhas.
PAN tentu menolak anggapan tersebut. Kadernya menyatakan tidak ada bukti ilmiah yang mengaitkan langsung kebijakan kehutanan era 2009–2014 dengan bencana Aceh 2025. Tuduhan itu dianggap lebih bernuansa politis ketimbang berbasis data.
Mereka menegaskan bahwa kerusakan lingkungan bukan disebabkan oleh satu orang, satu kementerian, atau satu periode pemerintahan saja, tetapi merupakan akumulasi panjang dari berbagai faktor, kebijakan, dan kepentingan ekonomi yang berkelindan selama berpuluh-puluh tahun.
Di sinilah masalah inti polemik ini terlihat: publik lebih sibuk mencari orang untuk disalahkan daripada memahami akar persoalan lingkungan yang jauh lebih kompleks. Padahal kajian ilmiah menunjukkan fakta yang tak bisa dibantah: deforestasi memperburuk bencana.
Ketika pepohonan hilang, tanah kehilangan daya serap dan pengikat air. Saat hujan ekstrem datang fenomena yang makin sering terjadi akibat perubahan iklim air mengalir lebih cepat, membawa material tanah dan batuan, memicu banjir bandang dan longsor besar. Dengan kata lain, bencana Aceh adalah perpaduan antara dampak perubahan iklim global dan kerusakan lingkungan akibat campur tangan manusia.
Namun deforestasi bukan satu-satunya persoalan. Ada fenomena siklon, perubahan pola hujan, urbanisasi tanpa mitigasi bencana, konversi lahan tidak terkendali, hingga lemahnya pengawasan izin perkebunan dan tambang.
Indonesia adalah negara yang secara geografis sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi. Menyederhanakan permasalahan kompleks ini menjadi kesalahan satu figur bukan hanya tidak adil, tetapi juga mengaburkan urgensi penyelesaian.
Isu penting lain muncul dari cara persepsi publik dibentuk. Media sosial mengarahkan opini masyarakat melalui unggahan singkat, emosional, dan mudah viral. Narasi seperti itu dibagikan jauh lebih cepat dibandingkan penjelasan ilmiah yang panjang, teknis, dan kurang “menarik”. Akibatnya, isu lingkungan bukan lagi diletakkan pada ranah penyelamatan ekosistem, tetapi berubah menjadi alat pertarungan politik bahkan di tengah bencana kemanusiaan.
Pola ini berbahaya. Ketika publik lebih tertarik menyerang figur, pemerintah akan selalu sibuk melakukan klarifikasi daripada melakukan perbaikan. Ketika semua energi dipakai untuk berdebat tentang siapa yang bersalah, tidak ada energi tersisa untuk mencegah bencana berikutnya.
Padahal pelajaran paling penting dari musibah Aceh seharusnya bukan tentang siapa yang patut disalahkan, melainkan apa langkah yang harus segera dilakukan. Ada agenda besar yang menanti: penguatan tata kelola hutan, pengetatan izin pembukaan lahan, reboisasi besar-besaran, penindakan tegas terhadap mafia kayu dan tambang, serta pembangunan sistem mitigasi bencana yang benar-benar berjalan bukan hanya menjadi dokumen administratif.
Tanggung jawab itu tidak boleh bergantung pada figur atau rezim. Lingkungan hidup adalah warisan antar-generasi. Kesalahan pada satu masa akan dibayar oleh rakyat pada masa berikutnya. Karena itu, kritik terhadap kebijakan lingkungan memang penting, tetapi kritik yang produktif harus dibarengi dengan dorongan atas formulasi solusi, bukan sekadar adu komentar.
Bencana Aceh menyiratkan pesan keras: alam tidak mengenal masa jabatan dan tidak membedakan afiliasi politik. Ketika struktur ekologis rusak, rakyatlah yang menanggung akibatnya, bukan para elite yang sedang berseteru. Oleh sebab itu, mengubah bencana menjadi ajang adu narasi politik sama saja dengan membiarkan bom ekologis tetap aktif dan siap meledak lagi.
Tuduhan pada Zulhas atau siapa pun mungkin tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Ada rangkaian panjang yang perlu ditelusuri secara ilmiah bukan emosional.
Jika bangsa ini bersungguh-sungguh ingin menghentikan siklus bencana, ada satu hal yang harus dipahami: mencari kambing hitam tidak akan menghentikan banjir, longsor, atau deforestasi. Menunggu siapa yang layak disalahkan hanya akan membuat kita lalai membentuk kebijakan lingkungan yang konkret.
Pertanyaan paling penting bukan lagi “Siapa penyebab bencana Aceh?” tetapi “Apakah kita sudah siap memastikan bencana serupa tidak terulang?” Bangsa ini membutuhkan keberanian untuk berpikir jernih, memprioritaskan penyelamatan lingkungan daripada pertarungan persepsi.
Alam hanya akan menghormati mereka yang menghormatinya. Jika tidak, sejarah kehancuran akan terus berulang dan rakyatlah yang kembali menjadi korban.
***
*) Oleh : Anjaz Saputra, Mahasiswa Ekonomi Syariah Universitas Pamulang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |