TIMES TANGERANG, TANGERANG – Pembangunan sosial sering terdengar seperti istilah besar yang hanya milik pemerintah, lembaga, atau mereka yang duduk di ruang rapat. Padahal, di banyak daerah Indonesia, pembangunan justru dimulai dari sesuatu yang jauh lebih sederhana: budaya lokal yang mengatur cara masyarakat hidup, berinteraksi, dan mengambil keputusan bersama. Ketika budaya itu dihormati, pembangunan akan menemukan jalannya sendiri. Ketika diabaikan, sebaik apa pun programnya, ia bisa mudah ditolak.
Studi tentang program Sumba Future Changemakers di Nusa Tenggara Timur menunjukkan gambaran menarik tentang cara pembangunan yang peka budaya mampu menghadirkan perubahan sosial dengan cara yang lebih alami dan diterima. Sumba adalah wilayah yang kuat memegang nilai-nilai tradisi, mulai dari Marapu, gotong royong, hingga penghormatan terhadap pemimpin adat.
Nilai-nilai ini ternyata bukan sekadar simbol masa lalu, tetapi penyangga yang membuat program sosial lebih stabil dan bertahan lama. Singkatnya, semakin selaras program dengan budaya masyarakat, semakin besar rasa memiliki yang tumbuh dari dalam diri mereka.
Yang membuat program ini berbeda adalah keberaniannya menempatkan anak muda bukan sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai aktor. Di banyak daerah, anak dan remaja hanya dianggap penerima manfaat, disuruh mengikuti kegiatan tanpa punya ruang untuk berperan.
Di Sumba Future Changemakers, mereka justru diajak memimpin. Mereka terlibat dalam pelatihan, kegiatan sosial, edukasi lingkungan, hingga penguatan karakter dan kepemimpinan. Dengan cara ini, mereka menjadi jembatan yang menghubungkan kebijaksanaan budaya leluhur dengan tuntutan dunia modern. Mereka tetap bangga menjadi bagian dari Sumba, tetapi juga siap menjadi warga masa depan.
Nilai budaya yang paling terasa dampaknya adalah sistem kepercayaan Marapu, yang mengajarkan keseimbangan antara manusia, alam, dan leluhur. Banyak pihak mungkin menganggap nilai tradisional seperti ini ketinggalan zaman. Namun penelitian justru menunjukkan sebaliknya: nilai tersebut membantu masyarakat menjaga lingkungan, memperkuat solidaritas, dan mengutamakan keputusan bersama.
Ketika prinsip ini diterapkan dalam program pembangunan, masyarakat melihatnya bukan sebagai hal asing, tetapi sebagai bagian dari hidup mereka sendiri. Itulah yang membuat anak muda tidak merasa pembangunan adalah ancaman bagi identitas budaya mereka, melainkan cara baru untuk merawat budaya dalam konteks kekinian.
Peran pemimpin adat juga menjadi kunci penting. Mereka bukan hanya simbol tradisi, tetapi suara moral yang dihormati masyarakat. Program yang melibatkan pemimpin adat mendapatkan kepercayaan secara otomatis karena masyarakat yakin bahwa kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan nilai yang mereka junjung.
Banyak pembangunan gagal hanya karena tidak melibatkan figur-figur berpengaruh di tingkat lokal. Di Sumba, kehadiran pemimpin adat dalam proses pembangunan membuat masyarakat merasa aman, dan pada akhirnya mendorong mereka untuk terlibat aktif secara kolektif.
Penelitian ini juga mengingatkan risiko jika budaya lokal diabaikan dalam pembangunan. Ada banyak contoh di berbagai daerah ketika program modern datang dengan niat baik, tetapi gagal karena tidak mengenali struktur sosial dan nilai budaya yang sudah lama hidup di masyarakat.
Masyarakat bisa merasa terancam, kehilangan identitas, atau dipaksa menerima sesuatu yang tidak mereka pahami. Akhirnya, program berhenti bukan karena idenya buruk, tetapi karena pendekatannya tidak menghormati akar sosial masyarakat. Sumba memberi pelajaran penting bahwa modernitas dan budaya tidak harus saling menghapus. Modernitas bisa tumbuh di atas budaya, bukan menggantikannya.
Karena itu, kekuatan terbesar program Sumba Future Changemakers bukan hanya pada desain kegiatannya, tetapi pada kesadaran bahwa budaya adalah sahabat pembangunan, bukan hambatan.
Dengan menjadikan anak muda sebagai subjek pembangunan dan melibatkan pemimpin adat sebagai penjaga nilai, perubahan sosial berjalan dari bawah, bukan dipaksakan dari luar. Anak-anak dan remaja tumbuh sebagai generasi baru yang tidak canggung menghadapi globalisasi, tetapi tetap berpijak kuat pada identitas Sumba.
Jika pembangunan sosial ingin bertahan lama, ia tidak boleh hanya mengejar hasil yang terlihat, tetapi juga memperkuat sesuatu yang tidak tampak: rasa memiliki, rasa bangga, dan rasa menjadi bagian dari komunitas.
Program ini membuktikan bahwa ketika budaya dilibatkan sejak awal, pembangunan bukan hanya menghasilkan fasilitas atau kegiatan, tetapi juga melahirkan generasi yang kuat karakter, percaya diri, dan berakar pada nilai-nilai lokal.
Masyarakat Sumba tidak perlu meninggalkan tradisi untuk maju. Justru tradisi itulah yang bisa menjadi mesin kemajuan apabila dipadukan dengan ruang partisipasi bagi generasi muda.
Mereka menjadi agen perubahan bukan karena dipaksa, tetapi karena mereka merasa membangun masa depan berarti sekaligus menjaga warisan leluhur. Inilah inti dari pembangunan sosial yang manusiawi: perubahan yang menyatu dengan identitas, bukan perubahan yang mencabut identitas.
***
*) Oleh : Ranny Fitriasari Rahardjo, Mahasiswa Universitas Pamulang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |