TIMES TANGERANG, TANGERANG – "Kita baru sampai, nih". 'Lho, aku dari tadi di rumah. Aku tidak ke mana-mana'. "Bukan kamu tapi kita".
Anda pasti sering menjumpai fenomena penggunaan bahasa tersebut. Peristiwa bahasa yang salah tetapi dianggap lumrah. Sebagian besar masyarakat bahasa Indonesia tidak memahami perbedaan kata ganti "kita" dan "kami", "aku" dan "saya", "aku" dan "kita". Ketiga pasang kata ganti tersebut sering ditukar fungsinya.
Setiap kata ganti memiliki fungsi dan perannya masing-masing. Penggunaannya sesuai jumlahnya. Baik itu jamak atau pun tunggal. Kata ganti "kita" merupakan bentuk jamak yang digunakan apabila lawan tutur diikutsertakan.
Kata ganti "kami" merupakan bentuk jamak yang digunakan apabila lawan tutur tidak diikutsertakan. Kata "aku" dan "saya" merupakan kata ganti pertama tunggal. Bedanya "saya" untuk situasi formal atau baku, sedangkan "aku" untuk situasi santai.
Justru yang paling parah adalah tidak bisa membedakan "aku" dan "kita". Kedua kata tersebut memiliki perbedaan yang sangat jauh, yakni bentuk jamak dan tunggal.
Kesalahan dalam menggunakan diksi dapat berakibat fatal. Setiap kata memiliki makna yang berbeda. Tidak ada kata yang memiliki makna yang sama persis. Sinonim hanya memiliki makna yang hampir mendekati mirip bukan sama persis. Begitu juga dengan antonim. Antonim bukan sebagai lawan makna, namun makna yang berbeda.
Antonim duduk tidak harus berdiri, namun bisa disandingkan dengan bentuk lain yang maknanya tidak sama. Misalnya duduk dengan tiduran atau duduk dengan jongkok. Kesalahan dalam menggunakan kata yang tepat berdampak pada bedanya makna. Tentu akan menghasilkan makna yang akan berbeda pula.
Komunikasi yang baik terjadi jika makna yang disampaikan penutur dapat dipahami oleh lawan tutur. Untuk itu, masyarakat bahasa perlu memahami makna bahasa yang digunakan agar informasi yang disampaikannya juga dipahami oleh lawan tutur.
Kesalahan dalam menggunakan diksi dapat memicu ketegangan antar pengguna bahasa. Lawan tutur dapat tersinggung. Selain itu, respon lawan tutur tidak seperti yang diharapkan.
Fungsi kata ganti dalam bahasa adalah untuk menggantikan kata benda. Nama orang yang panjang, atau nama benda yang banyak dapat dipanggil dengan satu kata saja. Sesorang dengan nama yang cukup panjang bisa disebut dengan dia. Nama penutur yang panjang bisa disebut dengan aku atau saya.
Kumpulan orang dengan nama-nama panjang bisa disebut dengan mereka. Jika penutur terlibat bisa disebut dengan kami. Jika penutur tidak terlibat bosa disebut dengan kalian. Kata ganti memiliki fungsi yang menyederhanakan tuturan.
Kata ganti dapat juga berfungsi untuk menjelaskan kata benda. Jika contoh sebelumnya kata ganti berfungsi untuk menyederhanakan karena menjadi pendek, kata ganti juga bisa dibuat panjang dalam bentuk informasi. Penulis yang hendak menjelaskan Cristiano Ronaldo dapat menggunakan lata ganti panjang berupa informasi terkait Cristiano Ronaldo.
Misalnya penyerang Timnas Portugal, mantan bintang Real Madrid, mantan topscorer Seri A, peraih Ballon d'or, dan sebagainya. Artikel berita di surat kabar sering menggunakan cara ini untuk menghemat ruang.
Pengguna bahasa harus bisa memahami penggunaan kata yang tepat. Masyarakat bahasa Indonesia merupakan tipe masyarakat yang menghargai rasa. Untuk itu, ada perbedaan kosa kata pada setiap ragam. Ragam baku, ragam formal, ragam santai, dan ragam lainnya merupakan kasta dalam bahasa Indonesia.
Pengguna bahasa harus dapat melihat sedang dalam situasi mana ia berada. Penggunaan ragam santai dalam situasi formal dapat merusak suasana. Penggunaan ragam formal dalam situasi santai juga akan membuat situasi menjadi kaku.
Kesalahan yang dibiarkan secara terus-menerus akan menjadi kebiasaan yang salah. Ini bisa terjadi karena pengguna bahasa menjadi tidak bisa mengetahui benar-salah. Kebingungan ini terjadi karena pengguna bahasa sering menggunakan yang salah namun dibiarkan. Jika dilanjutkan maka masyarakat akan terbiasa salah.
Kebiasaan yang salah akan berpotensi menjadi budaya salah. Hal yang paling berbahaya jika budaya salah tersebut kemudian dianggap menjadi benar. Kosa kata yang tidak sopan digunakan secara terus-menerus akan menjadi biasa.
Misalnya kata "anjay" merupakan pelesetan dari kata umpatan "anjing". Kata "anjay" tahun 2000-an tabu untuk dituturkan pada situasi umum. Saat ini, kata "anjay" ramah terdengar di mana-mana.
Masyarakat bahasa perlu berubah menjadi lebih baik dalam bertutur. Sudah saatnya, masyarakat bahasa lebih bijak dalam menggunakan kosa kata. Ini dilakukan untuk menyelamatkan bahasa Indonesia agar tidak melebar salah terlalu jauh. Martabat bahasa Indonesia ada pada masyarakat bahasa Indonesia itu sendiri.
***
*) Oleh : Rerin Maulinda, S.Pd., M.Pd., Dosen Bahasa Indonesia Universitas Pamulang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |