TIMES TANGERANG, TANGERANG – Di tengah suhu politik nasional yang terus memanas, muncul isu yang cukup mengguncang desakan pemakzulan Wakil Presiden Republik Indonesia oleh sejumlah purnawirawan TNI. Isu ini bukan sekadar dinamika politik biasa, tetapi menandai gejala yang lebih dalam kehidupan demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia.
Munculnya desakan ini menunjukkan bagaimana elemen non politik formal dalam hal ini para mantan prajurit militer mulai mengambil ruang dalam menyuarakan ketidakpuasan terhadap jalannya pemerintahan.
Apakah desakan ini merupakan bentuk pengawasan moral dari kalangan patriotik, atau justru mencerminkan kemunduran etika dan institusionalisasi demokrasi?
Desakan pemakzulan ini, yang bersumber dari kekhawatiran terhadap keberpihakan politik dan dugaan pelanggaran konstitusional oleh sang Wakil Presiden, patut ditelaah dalam dua kerangka.
Pertama, sebagai bentuk kontrol sipil oleh aktor non negara terhadap elit pemerintahan.
Kedua, sebagai potensi ancaman terhadap prinsip-prinsip dasar demokrasi dan supremasi hukum.
Dalam kerangka pertama, purnawirawan TNI memang masih memiliki posisi strategis dalam masyarakat Indonesia. Mereka tidak hanya dianggap sebagai tokoh yang memiliki pengalaman dalam kepemimpinan dan keamanan nasional, tetapi juga sering dilihat sebagai penjaga moral kebangsaan.
Sehingga, ketika mereka mengkritik atau bahkan mendesak pemakzulan seorang pejabat tinggi negara, hal tersebut bukan tanpa resonansi publik.
Di satu sisi, ini bisa dibaca sebagai bentuk keberanian moral untuk menyuarakan kebenaran, terutama ketika suara rakyat dianggap tidak lagi didengar melalui saluran-saluran formal.
Namun dalam kerangka kedua, desakan pemakzulan oleh kelompok yang secara konstitusional tidak memiliki kedudukan formal dalam proses legislasi atau pengawasan eksekutif bisa menjadi problematik.
Menurut Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia pada pasal 7A bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Lebih jauh pada pasal 7B melibatkan MPR, DPR dan Mahkamah Konstitusi yang berarti hal ini menunjukan proses yang panjang. Maka, ketika desakan pemakzulan datang dari luar institusi resmi, tanpa bukti hukum yang sahih dan hanya berdasarkan penilaian politis atau persepsi pribadi, hal ini berisiko menciptakan preseden buruk dalam praktik demokrasi.
Lebih jauh lagi, keterlibatan purnawirawan militer dalam dinamika politik elektoral perlu ditanggapi dengan hati-hati. Meskipun mereka telah pensiun dari dinas aktif, posisi mereka sebagai figur militer tetap membayangi opini publik.
Dalam negara demokrasi modern, militer semestinya netral dan tidak terlibat dalam agenda-agenda politik partisan. Ketika suara-suara dari militer, meski sudah purnawirawan, mulai mendikte arah politik, ini bisa memicu kekhawatiran tentang kembalinya pengaruh militer dalam politik sipil, sesuatu yang pernah menjadi luka sejarah Indonesia pada masa Orde Baru.
Namun demikian, tidak bisa disangkal bahwa desakan ini juga muncul dari keprihatinan yang nyata terhadap degradasi moral politik dan ketimpangan kekuasaan. Ketika institusi formal seperti DPR dinilai lemah dalam menjalankan fungsi check and balance, masyarakat cenderung mencari ‘penyelamat’ dari luar sistem.
Sayangnya, jika hal ini tidak disertai dengan narasi hukum yang kuat dan bukti konstitusional, maka desakan tersebut akan lebih bersifat politis ketimbang legal.
Isu pemakzulan Wapres oleh purnawirawan TNI menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia sedang diuji pada titik keseimbangan antara kebebasan menyuarakan kritik dan perlindungan terhadap tatanan hukum.
Di tengah lanskap politik yang cenderung pragmatis, justru dibutuhkan kebijaksanaan kolektif agar demokrasi tidak dibajak oleh kepentingan sesaat, siapa pun aktornya.
Pada akhirnya, bangsa ini harus belajar membedakan antara kritik yang konstruktif dan intervensi yang destruktif. Demokrasi sejatinya tidak menutup kritik, tapi juga tidak membuka pintu bagi setiap tekanan yang tidak melewati jalur konstitusional.
Pemakzulan bukan solusi instan, melainkan proses hukum yang sakral dan harus dilandasi oleh bukti, bukan kecurigaan. Maka, suara purnawirawan harus ditempatkan sebagai bagian dari aspirasi warga negara, bukan sebagai ‘’veto’’ militer dalam pemerintahan sipil. (*)
***
*) Oleh : Andi Adriansah, S.H., Pegawai Negeri Sipil.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |