TIMES TANGERANG, TANGERANG – Di tengah gencarnya kampanye peningkatan kualitas sumber daya manusia, "Negari Konoha" justru dihadapkan pada paradoks yang menyakitkan: semakin banyak sarjana, semakin tinggi angka pengangguran terdidik.
Ini bukan hanya soal ketidaksesuaian antara lulusan dan dunia kerja, tapi merupakan kegagalan negara dalam menciptakan ekosistem ekonomi yang mampu menyerap potensi intelektual anak bangsanya.
Alih-alih menjadi aset, sarjana kini banyak yang menjadi “aset terbuang” tak terpakai oleh sistem, tak disambut oleh industri, dan tak dijamin oleh negara.
Sementara pemerintah sibuk mempromosikan bonus demografi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para lulusan perguruan tinggi justru semakin kehilangan arah. Banyak dari mereka menjadi pengangguran terselubung, bekerja di sektor informal, atau menerima pekerjaan yang tidak relevan dengan latar belakang pendidikan mereka.
Masalah ini berakar pada satu kenyataan pahit: pemerintah Konoha gagal membuka lapangan pekerjaan yang sebanding dengan pertumbuhan jumlah lulusan sarjana.
Setiap tahun, ratusan ribu mahasiswa diwisuda dari kampus-kampus seluruh negeri. Namun, tidak ada strategi yang jelas dari negara tentang ke mana mereka akan diarahkan setelah melewati gerbang universitas.
Kebijakan pembangunan selama ini terlalu fokus pada infrastruktur fisik, sementara infrastruktur pekerjaan nyaris tidak tersentuh. Program padat karya dan proyek besar hanya menyerap tenaga kerja berpendidikan rendah hingga menengah.
Sarjana? Mereka terlalu overqualified untuk lapangan pekerjaan itu, tapi dianggap belum cukup berpengalaman untuk pekerjaan tingkat tinggi. Alhasil, mereka mengambang tidak mendapat tempat di kedua sisi.
Alih-alih memperkuat sektor-sektor yang mampu menciptakan pekerjaan berbasis pengetahuan, pemerintah justru sering menjadikan wirausaha sebagai jawaban instan. “Sarjana harus kreatif, harus menciptakan lapangan kerja sendiri,” kata para pejabat.
Namun, pendekatan ini tidak lebih dari alibi untuk menutupi ketidakmampuan negara menyediakan pekerjaan layak. Tidak semua orang bisa atau mau jadi pengusaha, dan tidak seharusnya itu dijadikan solusi sistemik untuk mengatasi kegagalan struktural dalam penciptaan kerja.
Lebih jauh, pengangguran sarjana juga mencerminkan minimnya perencanaan jangka panjang. Tidak ada konektivitas antara perencanaan pendidikan tinggi dan arah pembangunan nasional. Pemerintah membiarkan kampus-kampus terus mencetak lulusan tanpa memikirkan relevansi dan kebutuhan pasar.
Bahkan sektor-sektor strategis seperti pertanian modern, energi terbarukan, dan riset teknologi nyaris tidak diberdayakan sebagai mesin pencipta kerja. Negara kehilangan arah dalam memanfaatkan potensi terbaik generasi muda.
Ironisnya, di tengah kenyataan ini, para lulusan sarjana tetap dituntut menjadi "tangguh", "bermental baja", dan "tidak manja". Mereka diminta terus bertahan, bersaing, dan berinovasi tanpa ada infrastruktur kebijakan yang benar-benar menopang langkah mereka. Negara tidak menyediakan jaring pengaman, tapi terus menuntut lompatan.
Sudah waktunya pemerintah mengubah cara pandang terhadap pengangguran sarjana. Ini bukan semata kegagalan individu, tetapi kegagalan negara membangun sistem yang adil dan berorientasi masa depan.
Penciptaan lapangan kerja harus menjadi prioritas utama, bukan hanya dalam jargon kampanye, tapi dalam alokasi anggaran, reformasi birokrasi, dan arah pembangunan ekonomi.
Tanpa langkah konkret dan visi jangka panjang, kita sedang menciptakan generasi kecewa; generasi yang sudah belajar, sudah berusaha, tapi dikhianati oleh sistem yang tak pernah siap menyambut mereka.
Dan jika itu terus dibiarkan, maka kegagalan membuka lapangan kerja bukan sekadar masalah ekonomi tapi bentuk pengkhianatan terhadap janji pendidikan itu sendiri.
***
*) Oleh : Andi Adriansah, S.H., Pegawai Negeri Sipil.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |