TIMES TANGERANG, TANGERANG – Stunting masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk mewujudkan Indonesia Emas tahun 2045. Stunting menjadi penghambat generasi untuk produktif. Stunting terjadi karena asupan gizi yang kurang kepada anak sejak dalam masa kandungan yang menyebabkan tumbuh kembang anak terganggu.
Jumlah balita yang mengalami stunting jumlahnya sangat banyak. Berdasarkan data Kementrian Kesehatan RI, jumlah balita yang terancam stunting sebanyak 4.035.586 atau setara dengan 17,83% dari total balita di Indonesia. Jumlah balita yang dinyatakan stunting sebanyak 1.033.716 anak atau setara dengan 4,57%. Dari sejumlah itu, balita stunting yang sudah tertangani baru sebanyak 350 anak. Angka tersebut masih akan terus bertambah jika tidak ditangani secara serius.
Anak yang menderita stunting akan mengalami banyak kendala di kehidupannya. Ia akan lebih mudah sakit-sakitan dan mengalami gangguan perkembangan tubuh. Perkembangan kecerdasannya pun akan terganggu dan berbeda dengan anak normal. Hal ini tentunya akan menjadi beban bagi orang tua selama masih menjadi tanggungannya. Ke depannya, mereka juga akan menjadi beban tanggungan pemerintah karena sulit bersaing.
Kondisi fisiknya yang mudah terserang penyakit dan kecerdasan intelektualnya yang di bawah rata-rata akan membuatnya masuk ke dalam kelompok lemah. Jika tidak ditangani secara serius maka Indonesia akan mengalami bencana demografi akibat banyaknya generasi usia produktif yang gagal akibat stunting. Untuk itu, pemerintah menyikapi stunting ini dengan mewujudkan kemandirian pangan, perbaikan gizi, dan keluarga berkualitas.
Tanda stunting bisa dilihat secara kasat mata pada balita. Indikator utama yang paling mudah ditemukan sebagai tanda awal yaitu berat bada balita yang menurun atau di bawah normal. Meskipun berat badan menurun bukan berarti selalu mengarah ke stunting. Namun, turunnya berat badan bisa dijadikan sebagai langkah awal untuk mendeteksi kecenderungan lain seperti kurang gizi dan keterlambatan tumbuh kembang anak.
Masyarakat perlu mendapatkan edukasi terkait pentingnya gizi yang baik dan lingkungan sehat. Pemerolehan gizi bukan hanya pada saat anak dilahirkan melainkan pada saat orang tua masih remaja. Hal yang paling banyak disepelekan yaitu terkait pentingnya mencegah anemia pada usia remaja. Hanya sedikit remaja yang rajin mengkonsumsi tablet penambah darah. Pemahaman gizi dan kesehatan pada remaja dapat diperoleh melalui literasi yang baik.
Minat baca yang rendah pada masyarakat menyebabkan sebagian besar orang malas mengakses informasi. Informasi kesehatan banyak ditemukan melalui sumber bacaan maupun kanal media sosial. Malas baca bukan terjadi pada masyarakat yang berpendidikan rendah saja, melainkan juga pada mereka yang berpendidikan tinggi.
Keluarga berpendidikan umumnya menuju keluarga yang kedua orang tuanya berkarir. Orang tua akan menitipkan pengasuhan anaknya kepada perawat. Kesalahan utama pada pola pengasuhan seperti ini yaitu dengan menggantikan peran ASI dengan pemberian susu formula. Peran ASI tidak bisa digantikan dengan susu formula karena kandungan gizi pada ASI tidak setara dengan kandungan susu formula sehingga kebutuhan pasokan nutrisi tubuh tidak tercukupi.
Pola makan dan ketercukupan gizi ibu juga mempengaruhi kualitas ASI yang diberikan kepada anak. Kebiasaan generasi milenial dan generasi Z yang lebih suka mengkonsumsi makanan cepat saji dan tidak suka mengkonsumsi buah, sayur, dan ikan juga menyebabkan kandungan dan pasokan ASI untuk bayi akan berkurang.
Makanan bergizi mudah ditemukan di lingkungan masyarakat. Harganya juga terjangkau, namun karena kurangnya informasi terkait kandungan gizi pada setiap bahan makanan membuat masyarakat tidak menyadari pentingnya mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi.
Sumber informasi pada era digital sangat mudah didapatkan. Bukan hanya melalui bacaan dalam bentuk buku saja, majalah dan surat kabar pun beberapa kali memberikan informasi makanan sehat. Informasi digital melalui portal digital, kanal media sosial, pun banyak menyampaikan informasi. Namun, masyarakat harus cerdas mencari sumber informasi yang valid agar tidak terjerumus pada informasi bohong.
Masyarakat yang memahami lingkungan sehat, makanan sehat, dan pola hidup sehat dapat bertukar informasi melalui media apapun guna membangun dan Menciptakan generasi yang sehat di masa yang akan datang. Masyarakat yang belum mengetahui pentingnya lingkungan sehat, makanan sehat, dan pola hidup sehat dapat mengaksesnya melalui sumber informasi yang ada.
Dengan adanya kesadaran kedua belah pihak tentunya akan melahirkan masyarakat yang sadar kesehatan untuk menuju keluarga berkualitas. Keluarga berkualitas akan mewujudkan generasi yang mandiri dan memberikan manfaat kepada orang lain serta tidak menjadi beban negara di kemudian hari.
***
*) Oleh : Dr. Misbah Priagung Nursalim, M.Pd., Kaprodi Sastra Indonesia di Universitas Pamulang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Pencegahan Stunting melalui Literasi
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |