TIMES TANGERANG, TANGERANG – Gagap menjadi istilah tepat untuk menggambarkan kepanikan sebagian kelompok akademisi dalam kaitannya publikasi karya ilmiah. Publikasi menjadi salah satu luaran wajib bagi dosen dan mahasiswa. Dosen dibebani tugas luaran berupa publikasi hasil penelitian dan pengabdian masyarakat minimal sekali dalam satu semester. Jika tidak berhasil mencapai luaran maka laporan kinerjanya dinyatakan tidak memenuhi. Dengan demikian otomatis tunjangannya akan dihentikan sementara.
Selain dosen, mahasiswa pun diberikan kewajiban untuk mempublikasikan luaran hasil penelitian. Mereka melakukan publikasi hasil penelitian atau pengabdian masyarakat minimal sekali selama menjadi mahasiswa. Jika tidak berhasil, maka mereka tidak dapat mengikuti ujian akhir. Ada juga kampus menjadikan publikasi sebagai syarat pengambilan ijazah. Selain itu, luaran publikasi juga akan menjadi nilai tambah pada portofolionya kelak.
Syarat publikasi ini dilatarbelakangi oleh dua hal, yakni akreditasi dan jabatan akademik dosen. Akreditasi menyaratkan adanya luaran bagi dosen dan mahasiswa. Baik itu akreditasi program studi maupun akreditasi perguruan tinggi. Pengajuan jabatan akademik dosen juga menyaratkan hal demikian. Luaran publikasi berupa jurnal menjadi syarat wajib. Pengajuan jabatan akademik asisten ahli menyaratkan dosen melakukan publikasi minimal sekali.
Pengajuan jabatan akademik lektor menyaratkan melakukan publikasi pada jurnal terakreditasi Sinta. Pengajuan jabatan akademik lektor kepala menyaratkan publikasi pada jurnal minimal terakreditasi Sinta 2. Pengajuan jabatan akademik guru besar menyaratkan publikasi pada jurnal internasional bereputasi. Jumlah jabatan akademik dosen di perguruan tinggi mempengaruhi nilai akreditasi. Untuk itu, pimpinan perguruan tinggi berlomba-lomba menerapkan kebijakan mewajibkan perguruan jabatan akademik bagi dosen dan kebijakan kewajiban publikasi bagi mahasiswa.
Tugas akademisi perguruan tinggi yaitu melaksanakan Tridharma. Mereka tidak hanya berkewajiban mengajar saja melainkan melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Porsi penelitian malah bisa sampai 60%. Namun, tidak semua dosen juga paham dengan darma penelitian. Ada dosen yang hanya menempatkan dirinya sebagai pengajar saja. Malah, ada juga yang tidak memahami alur kerja penelitian. Dosen yang semacam itu jumlahnya banyak sekali. Padahal, penelitian dan publikasi sangat identik dengan dunia dosen.
Kegagapan manajemen kampus untuk mengejar nilai akreditasi baik dari segi peningkatan SDM dan juga proses penilaian membuat dosen yang tipe pengajar ini kalang kabut. Banyak dari mereka yang akhirnya menugaskan mahasiswa membuat artikel jurnal tanpa melalui proses penelitian yang menyebabkan hasil analisis tidak valid.
Hal itu karena penelitian yang dilakukan terlalu terbaru-buru demi tugas kuliah. Dosen pengampu yang gagap penelitian ini tidak melakukan review terhadap jurnal mahasiswa yang di tugasinya. Hasilnya, sebagian besar akan menjadi sampah artikel di meja redaksi jurnal.
Dosen dan mahasiswa yang gagap ini tidak sedikit yang menggunakan jasa joki. Ia akan membayar berapapun asal terpublikasi. Ada juga yang menggunakan artificial intelligence (AI) untuk bantu membuatkan artikel untuk dipublikasi. Baik joki maupun AI, keduanya tidak bisa dijadikan andalan.
Selain tidak mencerminkan kejujuran akademik juga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tidak sedikit joki yang asal membuat artikel. Artikel dibuat seperti susunan puzzle tanpa memperhatikan kohesi dan koherensi. Sementara artikel buatan AI tidak memiliki sumber referensi yang valid.
Kewajiban publikasi perlu didorong dengan peningkatan skill riset yang baik. Setiap mahasiswa diajarkan kemampuan riset melalui metodologi penelitian dan praktik riset. Begitu juga dosen yang seharusnya sudah ahli meneliti sebab pernah merasakan dunia sarjana dan magister. Mutu pendidikan tinggi di Indonesia belum sepenuhnya dijalankan dengan baik. Praktik joki tugas akhir masih marak terjadi.
Jasa gelap semacam ini belum bisa diberantas hingga akarnya. Ada juga oknum dosen yang bermain di belakangnya sebagai ladang bisnis. Kinerja dosen pembimbing yang tidak serius mengecek hasil kerja mahasiswanya dan ditambah dengan kesibukan dosen penguji yang kurang teliti membuat keterampilan riset lulusan juga kurang dimaksimalkan.
Dampak dari longgarnya pengawasan mutu di bidang ini menyebabkan perguruan tinggi melahirkan lulusan minim skill riset. Hal itu yang membuatnya menjadi mata rantai iklim riset yang buruk. Iklim riset yang buruk dapat menghasilkan penelitian asal, sampah publikasi, dan banyak hal. Termasuk juga lahirnya monograf dan buku teori yang tidak bisa menjadi sumber referensi karena isinya kumpulan kutipan dari berbagai sumber.
Perguruan tinggi perlu memberikan pelatihan riset kembali kepada dosen untuk meningkatkan kualitas riset. Riset yang baik akan mencegah terjadinya gagap publikasi bagi sebagian kalangan akademisi. Terutama bagi akademisi yang sebelumnya tidak memiliki skill riset yang baik.
Riset yang baik membutuhkan kemampuan membaca yang baik. Pimpinan perguruan tinggi sudah saatnya mewajibkan dosen dan mahasiswa untuk membaca. Kewajiban ini yang belum pernah ada di Indonesia dan harus dilahirkan agar tidak ada lagi riset asal dan sampah publikasi. Apalagi plagiasi riset.
***
*) Oleh : Misbah Priagung Nursalim, M.Pd., Kaprodi sastra Indonesia di Universitas Pamulang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |