TIMES TANGERANG, TANGERANG – Bencana alam kerap diperlakukan sebagai peristiwa ekologis semata: banjir karena hujan, longsor karena tanah rapuh, gempa karena pergeseran lempeng. Namun, sebagaimana ditegaskan Prof. Ichsanuddin Noorsy, bencana sejatinya adalah krisis ekosistem sosial.
Ia tidak hanya merusak alam, tetapi juga melumpuhkan sistem produksi, distribusi, dan kehidupan masyarakat akibat infrastruktur yang runtuh dan kebijakan yang tersendat. Karena itu, penanganan bencana seharusnya tidak berhenti pada aspek lingkungan, melainkan menyentuh denyut sosial dan ekonomi warga terdampak.
Dalam situasi seperti ini, bahasa negara memainkan peran penting. Cara pemerintah berbicara tentang bencana bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi membingkai realitas, membentuk persepsi, dan memandu emosi publik. Pertanyaannya: apakah publik sedang diberi pemahaman yang utuh, atau sedang diarahkan oleh strategi retorika tertentu?
Dalam perspektif teori komunikasi, khususnya tradisi retorika yang dirumuskan Robert T. Craig (1999), komunikasi dipahami sebagai praktik wacana publik yang berorientasi pada persuasi.
Bahasa dan simbol menjadi alat untuk membentuk opini, membangun legitimasi, dan mendorong tindakan kolektif. Komunikasi, dengan demikian, bukan sekadar proses netral penyampaian pesan, melainkan arena perebutan makna.
Dalam konteks negara, bahasa tidak pernah bebas nilai. Setiap pernyataan resmi membawa kepentingan simbolik baik untuk menjelaskan kebijakan, meredam kegelisahan, maupun menjaga citra politik. Dalam situasi krisis, seperti bencana alam, bahasa negara menjadi instrumen penting untuk mengelola emosi publik: menenangkan, mengarahkan, bahkan membatasi tafsir.
Tradisi retorika dalam pendidikan komunikasi mengajarkan bahwa pesan publik selalu mengandung dimensi ideologis. Ketika negara berbicara, yang bekerja bukan hanya logika kebijakan, tetapi juga strategi simbolik.
Retorika Negara dan Budaya Politik Indonesia
Tradisi retorika Indonesia tumbuh dari nilai-nilai budaya yang menjunjung kesopanan, harmoni, dan kolektivisme. Bahasa negara kerap disampaikan dalam diksi normatif dan simbolik. Istilah seperti kepentingan nasional, kedaulatan, gotong royong, dan kemandirian bangsa berulang kali digunakan untuk membangun rasa kebersamaan sekaligus legitimasi kebijakan.
Dalam situasi krisis, bahasa semacam ini berfungsi sebagai pengendali emosi kolektif. Ia mencegah kepanikan, merawat stabilitas sosial, dan menjaga kepercayaan publik. Namun, di titik inilah retorika menyimpan paradoks: ia bisa menjadi perekat solidaritas, tetapi juga berpotensi menutupi realitas yang lebih kompleks di lapangan.
Praktik retorika ini tampak jelas dalam pernyataan pemerintah yang menolak bantuan luar negeri dalam penanganan bencana di Sumatera. Secara hukum dan administratif, keputusan tersebut adalah hak negara. Namun dalam kacamata komunikasi publik, ia juga merupakan pesan simbolik yang ditujukan kepada audiens nasional dan internasional.
Melalui narasi kemandirian dan kedaulatan, negara membangun ethos sebagai bangsa yang mampu berdiri di atas kaki sendiri. Retorika ini berpotensi memperkuat nasionalisme, menumbuhkan solidaritas, dan mendorong partisipasi masyarakat melalui semangat gotong royong.
Namun, retorika tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ketika bahasa simbolik lebih dominan daripada transparansi kondisi faktual, ia berisiko berubah menjadi sekadar pencitraan.
Penolakan bantuan, jika tidak diimbangi dengan kesiapan logistik dan kecepatan respons, dapat menimbulkan dampak nyata: kebutuhan korban yang tertunda, meningkatnya risiko kesehatan, ketidakpastian psikologis masyarakat terdampak, hingga kritik publik terhadap kapasitas negara.
Di sinilah dilema etis retorika negara muncul. Bahasa kedaulatan yang gagah di ruang wacana dapat berseberangan dengan kenyataan getir di lapangan.
Teori komunikasi mengingatkan bahwa retorika yang efektif tidak selalu berarti retorika yang etis. Persuasi yang mengabaikan kebutuhan riil korban bencana berpotensi merusak kepercayaan publik. Ketika bahasa negara terasa jauh dari pengalaman warga, jarak antara pemerintah dan masyarakat pun menganga.
Kepercayaan publik bukan dibangun oleh slogan, melainkan oleh konsistensi antara kata dan tindakan. Retorika kedaulatan yang tidak disertai empati, keterbukaan data, dan kecepatan penanganan justru dapat memperlemah legitimasi negara itu sendiri.
Membaca Bahasa Negara secara Kritis
Fenomena penolakan bantuan luar negeri dalam bencana di Sumatera menunjukkan bahwa komunikasi negara adalah arena perebutan makna. Pernyataan resmi tidak hanya menjelaskan kebijakan, tetapi juga membentuk cara publik memahami krisis.
Dalam perspektif komunikasi politik dan komunikasi publik, retorika seharusnya tidak berhenti pada pembangunan citra. Ia harus berpijak pada kepekaan kemanusiaan. Publik pun dituntut untuk bersikap kritis tidak sekadar menjadi audiens yang terpengaruh, tetapi subjek yang reflektif dalam menilai bahasa kekuasaan.
Bahasa negara akan selalu memiliki daya pengaruh. Namun, dalam situasi bencana, yang paling dibutuhkan bukanlah retorika yang tinggi, melainkan komunikasi yang jujur, empatik, dan berpihak pada keselamatan manusia. Di situlah etika komunikasi menemukan maknanya yang paling hakiki.
***
*) Oleh : Isti Nurul Kholida, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang dan Karyawan Bank BUMN.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |