https://tangerang.times.co.id/
Opini

Deforestasi, Monokultur dan Bencana Sumatera

Selasa, 02 Desember 2025 - 14:31
Deforestasi, Monokultur dan Bencana Sumatera Heru Wahyudi, Dosen Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang.

TIMES TANGERANG, TANGERANG – Pulau Sumatera yang dahulu menjadi rumah bagi hutan tropis terkaya di Indonesia kini memasuki fase kritis. Ekspansi sawit dan tambang memaksa ruang hidup ekologisnya, dan rangkaian banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat pada akhir November 2025 tanda bahwa kerusakan ini bukan lagi ancaman jauh di depan, sebaliknya realitas hari ini. 

Deforestasi yang terus bergerak, perizinan yang carut-marut, dan pembangunan ekonomi yang berjalan tanpa rem menyegerakan laju bencana.

Perkebunan sawit monokultur menjadi pendorong hilangnya hutan. Data Kementerian Kehutanan 2024 mencatat Sumatera kehilangan 91.248 hektare kawasan hutan, dan lebih dari sepertiganya sekitar 37.483 hektare dikonversi menjadi kebun sawit. 

Riau menjadi wilayah terdampak paling besar dengan 29.702 hektare hilang, disusul Sumatera Utara 7.034 hektare. Angka-angka ini indikasi model pembangunan yang mengabaikan ekologi dan mendorong Sumatera menuju krisis terbuka.

Dampak ekologis dari monokultur tampak gamblang. Ketika hutan digantikan kebun sawit, fungsi penyangga air hilang, run-off meningkat, dan banjir pun menjadi lazim. 

Kajian UGM dan Koalisi Burung Indonesia (KOBI) pada Januari 2025 juga menegaskan pola tanam tunggal memicu lonjakan konflik satwa-manusia. Habitat orangutan, gajah, badak, hingga harimau makin menyusut. 

Di Jambi, wilayah jelajah gajah berkurang lebih dari 1.000 hektare efek ekspansi sawit, bahkan di kawasan Hutan Produksi Terbatas yang sejatinya menjadi benteng terakhir mereka.

Industri sawit sering mengklaim hanya menempati 17 persen daratan Sumatera, tetapi angka ini menutupi fakta bahwa ekspansi justru merangsek ke area penyangga ekologi paling rentan. 

Taman Nasional Tesso Nilo dan bentang konservasi lainnya terus tertekan oleh perambahan ilegal yang menggerus habitat gajah dan harimau. Di banyak titik, monokultur menghapus keanekaragaman hayati, menyisakan bentang homogen yang rapuh.

Pemetaan Penurunan Biodiversitas Tanaman

Sumatera yang menyimpan lebih dari 10.000 tanaman endemik kini berada dalam situasi genting. Ekspansi sawit dan tambang mengompresi hutan, memecah ekosistem, dan mendorong banyak spesies menuju kepunahan lokal. 

Laporan Status Keanekaragaman Hayati Ekoregion Sumatra 2025 mencatat 22 tipe ekosistem termasuk hutan dataran rendah Dipterocarpaceae telah masuk kategori terancam hingga kritis. Keluarga Dipterocarpaceae sebagai penopang hutan alam ikut tergerus. 

Temuan di Taman Nasional Gunung Leuser menjelaskan keanekaragaman jenisnya merosot; hanya sedikit strata pohon dan semai yang bertahan. Parashorea lucida kini berstatus “Critically Endangered”, sementara nilai ekonominya yang tinggi justru mempercepat eksploitasi.

Nasib Tesso Nilo di Riau makin suram. Pemantauan Balai Taman Nasional Tesso Nilo pada November 2025 memperlihatkan lebih dari separuh kawasannya kini tanpa tutupan hutan, digantikan sawit ilegal yang menyingkirkan anggrek, kantong semar, gaharu, jelutung, serta flora endemik lainnya. Perusakan portal taman nasional dan pembukaan akses ilegal bukti tekanan yang masih jauh dari terkendali.

Di Ekosistem Leuser rumah bagi hampir 10.000 jenis tanaman termasuk Rafflesia perambahan sawit ilegal terus merusak hutan primer. Pada September 2025, petugas memusnahkan 360 hektare kebun sawit ilegal di Taman Nasional Gunung Leuseur (TNGL), menandakan perusakan terjadi bahkan di kawasan perlindungan tertinggi. 

Penemuan kembali Rafflesia Hasseltii di Sijunjung Sumatera Barat pada November 2025 setelah 13 tahun tak terlihat menjadi ironi: spesies ini bertahan dalam habitat terfragmentasi yang kian lapuk.

Data International Union for Conservation of Nature (IUCN) Juni 2025 mencatat lebih dari 47.000 spesies terancam punah secara global, dengan populasi prioritas di Sumatera diprediksi merosot hingga 80 persen dalam tiga generasi. 

Fragmentasi habitat, hilangnya koridor ekologis, dan menyusutnya keragaman genetik membuat tanaman endemik terperangkap dalam kantong habitat kecil yang rentan hilang oleh gangguan kecil sekalipun.

Monokultur dan Bencana Banjir

Monokultur dan deforestasi juga berkelindan dengan bencana hidrologis. Banjir bandang di Sumatera pada akhir November 2025 yang menewaskan 600an orang dan memaksa 400an warga hilang bukan semata akibat cuaca ekstrem. Menteri Investasi dan Hilirisasi pada November 2025 mengakui bahwa kerusakan lingkungan dan buruknya tata kelola tambang serta kebun menjadi pemicu utama. 

Kawasan Batang Toru yang menjadi pusat bencana telah lama terdegradasi oleh tambang emas dengan konsesi lebih dari 130 ribu hektare. Walhi Sumatera Utara (29/11/2025) mencatat operasi tambang merusak hulu sungai, menghilangkan fungsi hidrologis kawasan yang juga habitat Orangutan Tapanuli.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkap data Kementerian ESDM (28/11/2025) bahwa perluasan tambang dan perkebunan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) tanpa perhitungan daya dukung mengubah Sumatera menjadi “zona pengorbanan”. 

Kerusakan hulu DAS di Aceh Utara, Langkat, Tapanuli, dan Sibolga menghilangkan kemampuan alam menahan air. Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru yang ditargetkan rampung 2025 ikut menambah kerentanan lantaran berdiri di lanskap yang sudah tidak stabil akibat deforestasi.

Konsekuensinya merembet ke sosial-budaya: ketahanan pangan melemah, lahan hilang, masyarakat tradisional Tapanuli makin rentan. Walhi, Satya Bumi, dan JAMM pada 27 November 2025 mendesak moratorium ekspansi sawit dan aktivitas ekstraktif serta pemulihan hulu berbasis masyarakat. Sekalipun, desakan ini berhadapan dengan kepentingan ekonomi besar dan investasi triliunan rupiah.

Krisis ekologi Sumatera menyingkap kegagalan model pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan. Banjir, deforestasi, dan runtuhnya biodiversitas bukan takdir, melainkan hasil dari pilihan kebijakan. Tanpa perubahan paradigma, bencana ekologis hanya akan makin sering dan makin berat bagi generasi berikutnya.

***

*) Oleh : Heru Wahyudi, Dosen Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Tangerang just now

Welcome to TIMES Tangerang

TIMES Tangerang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.