https://tangerang.times.co.id/
Opini

Ketika Umpatan Jadi Ekspresi Kagum

Senin, 06 Oktober 2025 - 16:33
Ketika Umpatan Jadi Ekspresi Kagum Masduki Zakaria, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman.

TIMES TANGERANG, TANGERANG – Riuh kedai kopi yang padat menunjukkan sebuah tren menarik. Sekelompok mahasiswa mendominasi suasana dengan tawa mereka. Di tengah obrolan yang ramai, celetukan-celetukan kasar menjadi bumbu utama. 

Namun, kata-kata itu kehilangan makna aslinya sebagai ungkapan marah. Sebaliknya, umpatan justru menjadi ekspresi kekaguman. Sebuah makian bisa berarti "luar biasa", sementara kata kasar lain berfungsi sebagai salam akrab bagi teman yang baru tiba.

Pemandangan ini lantas memaksa kita merenung. Haruskah fenomena ini kita anggap sebagai angin lalu, sebuah tren musiman yang akan pudar seiring waktu? Ataukah, tanpa sadar, kita sebenarnya sedang menyaksikan gejala pergeseran budaya komunikasi yang jauh lebih mengakar?

Di balik dorongan untuk terlihat “gaul” dan diterima secara sosial, tersembunyi sebuah ironi yang mengkhawatirkan. Normalisasi umpatan baik menggunakan bahasa hewan, bagian tubuh, makhluk gaib dan hal negatif lainnya bukanlah tanda kemajuan ekspresi, melainkan sebuah bentuk pemiskinan bahasa yang akut. 

Kebiasaan yang dianggap sepele inilah yang secara perlahan menanam benih erosi karakter dan berpotensi merusak cara kita membangun interaksi sosial yang sehat di masa depan.

Ironi ini menjadi semakin dalam ketika kita sadar bahwa umpatan telah merebut posisi “bahasa ibu”. Seharusnya bahasa ibu sejatinya adalah respons verbal yang paling jujur dan spontan, lahir dari alam bawah sadar tanpa perlu dipikirkan.

Kini, peran agung itu secara ironis diambil alih oleh umpatan. Ia menjadi refleks pertama saat kaget, menjadi kata seru utama saat kagum, dan bahkan menjadi penanda keakraban dalam sebuah sapaan. 

Ketika sebuah ujaran kasar berevolusi menjadi respons emosional yang paling dasar, saat itulah ia telah bertransformasi menjadi “bahasa ibu'” fondasi komunikasi yang dipelajari bukan dari orang tua, melainkan dari tekanan pergaulan.

Alih-alih terlihat keren, penggunaan berlebihan ini secara tidak sadar justru membentuk citra diri yang dangkal, seolah-olah penuturnya memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi dan tidak dewasa secara emosional.

Dampak jangka panjangnya sering kali tak disadari. Membiasakan telinga dan lidah dengan ujaran kasar akan menurunkan sensitivitas terhadap agresi verbal, sebuah kebiasaan yang berisiko terbawa ke dalam hubungan personal di masa depan. 

Lebih dalam lagi, hal ini menyebabkan kecerdasan emosional (EQ) menjadi stagnan. Ketidakmampuan mengekspresikan emosi secara presisi pada akhirnya berujung pada kesulitan mengelola emosi itu sendiri, menjadikan umpatan sebagai pelarian, bukan solusi.

Kerusakan ini kemudian merambat ke ranah yang lebih praktis: dunia profesional. Bahasa yang dianggap wajar dan menjadi perekat di lingkungan pergaulan justru menjadi “kartu merah” di dunia kerja. 

Ketidakmampuan untuk beradaptasi dan berkomunikasi secara formal dapat menjadi penghambat serius bagi kemajuan karier serta membatasi kemampuan dalam membangun jaringan profesional yang solid.

Memang tidak adil jika kita menihilkan sepenuhnya fungsi umpatan. Dalam konteks yang sangat spesifik dan terbatas, seperti untuk meluapkan emosi yang memuncak (katarsis) atau sebagai bumbu humor di lingkaran pertemanan yang sangat tertutup, ia bisa saja memiliki tempatnya. 

Titik kritis permasalahannya bukan terletak pada eksistensi kata-kata itu sendiri, melainkan ketika penggunaannya telah melewati batas wajar menjadi kebiasaan yang tidak terkontrol, diucapkan tanpa filter, dan akhirnya mengambil alih peran sebagai bahasa utama dalam interaksi sehari-hari.

Kita harus jujur mengakui, menganggap umpatan sebagai tiket menuju pergaulan yang “keren'” sebenarnya adalah sebuah jebakan. Rasa diterima di tongkrongan atau cap gaul yang didapat hanyalah keuntungan sesaat yang menipu. 

Di baliknya, ada harga mahal yang harus dibayar yakni lunturnya sopan santun, miskinnya perbendaharaan kata, dan terbentuknya citra diri yang sebenarnya kosong, bukan berkarakter.

Lalu, apa solusinya? Tentu bukan dengan melarang atau menyensor kata-kata secara total. Ini lebih tentang membangun kesadaran untuk berpikir sejenak sebelum berucap, "Eh, ada kata lain yang lebih pas dan kreatif nggak ya buat gambarin ini?"

Di sinilah lingkungan memegang peran sentral, mulai dari keluarga, sekolah, hingga media. Terlebih lagi, jangan lupakan pengaruh besar para influencer di media sosial. Gaya bahasa mereka yang sering kali “tanpa filter” dengan cepat ditiru oleh jutaan pengikutnya, menjadikan umpatan terdengar normal dan bahkan wajib. 

Mereka punya kekuatan besar untuk memperburuk tren ini, atau sebaliknya, menjadi contoh komunikasi yang lebih cerdas. Status “gaul” yang sejati seharusnya lahir dari ide-ide cemerlang atau candaan cerdas, bukan dari umpatan yang itu-itu saja.

Sudah waktunya kita mendefinisikan ulang apa arti “gaul” yang sesungguhnya. Gaya keren sejati itu bukan soal gampangnya melontarkan kata-kata kasar, tapi soal punya pemikiran berbobot yang susah ditiru orang lain. 

Generasi yang akan memimpin dan dikagumi adalah mereka yang “kaya” akan gagasan dan mampu menyampaikannya dengan berkelas, bukan mereka yang “miskin” kosa kata dan hanya bisa berlindung di balik topeng umpatan.

 

***

*) Oleh : Masduki Zakaria, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mulawarman.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Tangerang just now

Welcome to TIMES Tangerang

TIMES Tangerang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.