https://tangerang.times.co.id/
Opini

Gelombang PHK, Kesenjangan Sosial, dan Ketimpangan Bantuan

Rabu, 14 Mei 2025 - 15:32
Gelombang PHK, Kesenjangan Sosial, dan Ketimpangan Bantuan Heru Wahyudi, Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang

TIMES TANGERANG, TANGERANG – Indonesia, yang baru saja merayakan statusnya sebagai negara berpendapatan menengah atas dan membanggakan ekonomi terbesar di ASEAN, ternyata menyimpan paradoks. Bank Dunia dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025 mengungkap fakta mengejutkan: 60,3% penduduk Indonesia-setara 171,8 juta jiwa-masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Dengan standar pengeluaran US$6,85 (sekitar Rp115.000) per orang per hari untuk negara berpendapatan menengah atas, Indonesia hanya lebih baik dari Laos yang tingkat kemiskinannya mencapai 68,5%. Jauh di belakang tetangga kita, seperti Malaysia (1,3%), Thailand (7,1%), dan Vietnam (18,2%).

Disparitas muncul ketika membandingkan data BPS yang mencatat angka kemiskinan hanya 8,57% atau sekitar 24,06 juta jiwa per September 2024. Perbedaan drastis ini disebabkan metode penghitungan berbeda: BPS menggunakan garis kemiskinan nasional sebesar Rp595.242 per bulan, jauh di bawah standar internasional untuk negara berpendapatan menengah atas.

Lonjakan PHK dan Pengangguran

Sejak awal 2025, Indonesia dihantam gelombang PHK yang mirip banjir bandang. Data Kemnaker mencatat 24.036 pekerja kehilangan pekerjaan hingga April 2025, sementara Apindo melaporkan angka lebih tinggi: 40.000 PHK hanya dalam dua bulan pertama tahun ini. Krisis ini berpusat di Jakarta dan Jawa Barat, dengan sektor manufaktur yang paling terkena dampak.

Kasus-kasus besar mengguncang perekonomian: PT Sritex tutup permanen mulai Maret 2025, mem-PHK lebih dari 10.600 karyawan; Yamaha Music Indonesia menutup dua pabrik, mengancam 1.100 pekerja; dan dua pemasok Nike di Tangerang mem-PHK sekitar 3.500 karyawan. Secara keseluruhan, industri tekstil akan kehilangan 13.800 karyawan pada tahun 2024.

Dampaknya terasa luas. Deflasi terjadi dua bulan berturut-turut pada Mei dan Juni 2024, menjabarkan daya beli masyarakat melemah. 60% pelaku UMKM di Jawa Barat dan Banten mengalami penurunan pendapatan. Tekanan ekonomi ini memicu gangguan mental pada korban PHK dan ketegangan sosial, terlihat dari demonstrasi buruh tekstil di Jakarta pada Juli 2024.

Perbandingan Negara ASEAN

Meski ekonomi Indonesia tiga kali lebih besar dari Vietnam dan dua kali lipat Thailand, tingkat kemiskinan kita jauh lebih parah. Bank Dunia mencatat 60,3% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, jauh melampaui Thailand yang hanya 7,1% dan Malaysia yang cuma 1,3%. Padahal, PDB per kapita Indonesia (US$6.800) hampir setara dengan Thailand (US$7.500).

Indonesia tertinggal lantaran ketimpangan yang ekstrem, upah pekerja yang rendah, dan perlindungan sosial yang minim. Rasio Gini Indonesia (0,414) lebih buruk dibanding Malaysia (0,38) dan Thailand (0,35), dengan 1% terkaya menguasai hampir setengah kekayaan nasional. Jika dibandingkan dengan Vietnam (Rp6,7 juta) dan Thailand (Rp8,2 juta), upah minimum buruh Indonesia sekitar Rp4,9 juta per bulan.

Vietnam berhasil menekan kemiskinan drastis berkat tiga formula: pendidikan vokasi dengan 70% sekolah menengah mengadopsi kurikulum berbasis industri, investasi besar dalam infrastruktur pedesaan, serta reformasi agraria yang mendistribusikan 1,2 juta hektar tanah kepada petani miskin.

Respons dan Kebijakan Publik

Pemerintah Indonesia meluncurkan Inpres No. 8 Tahun 2025 sebagai langkah radikal untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem dengan melibatkan 43 kementerian dan lembaga.

Program andalannya, Sekolah Rakyat, menargetkan 2 juta anak dari keluarga miskin ekstrem di 12.000 desa. Pemerintah juga mengalokasikan Rp15 triliun untuk pemberdayaan 5 juta UMKM.

Kendati, Program Kartu Prakerja belum efektif. Meski klaim resmi menyebut 35% penerima berhasil dapat kerja, audit The Indonesian Institute menemukan hanya 18% yang bekerja sesuai pelatihan. Penyaluran bansos juga menghadapi problem: data penerima kerap ambigu, tumpang tindih program, dan ketergantungan sosial.

Ada potret keberhasilan yang tidak bisa diabaikan. Program Sekolah Rakyat di Kabupaten Sumba Timur berhasil menurunkan angka putus sekolah hingga 25%.

Sinergi antara Kemenkop UKM dengan Gojek dan Tokopedia lewat program UMKM Go Digital juga berhasil meningkatkan omzet 1,2 juta pelaku usaha kecil hingga 40%.

Untuk benar-benar memutus rantai kemiskinan, pemerintah sejatinya perlu memperbaiki akurasi data, menyederhanakan birokrasi, dan mendorong kemandirian penerima bantuan, sambil terus mengembangkan program pemberdayaan yang terbukti efektif.

***

*) Oleh : Heru Wahyudi, Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

_______
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Tangerang just now

Welcome to TIMES Tangerang

TIMES Tangerang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.