TIMES TANGERANG, TANGERANG – Langit Timur Tengah kembali memerah. Pada Sabtu malam, 21 Juni 2025, Presiden Donald Trump memerintahkan Amerika Serikat untuk melakukan serangan udara ke tiga situs nuklir Iran: Fordow, Natanz, dan Isfahan.
Tentunya bukan sekadar operasi militer. Justru deklarasi terbuka: perang proksi yang selama ini dimainkan dari balik layar kini berubah jadi konfrontasi langsung. Trump menyebut serangan ini sebagai “sangat sukses” lewat unggahan di media sosial resminya.
Bagi Iran, hal ini tak cuma soal fasilitas strategis yang dihantam, tapi penistaan terhadap kedaulatan nasional. Fordow semisal, situs pengayaan uranium yang tertanam di pegunungan dan konon hanya bisa dihancurkan oleh bom bunker buster buatan AS. Natanz dan Isfahan? Sama pentingnya dalam rantai teknologi nuklir.
Respons Iran pun sigap dan keras. Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) mengumumkan bahwa Iran secara resmi berada dalam kondisi perang dengan Amerika Serikat. Bukan lagi sekadar balas menyerang, sebaliknya menuju eskalasi total.
Menteri Pertahanan Iran, Aziz Nasirzadeh, menyebut semua pangkalan militer AS di kawasan kini dalam jangkauan rudalnya. Bahkan warga sipil AS di Timur Tengah dianggap target sah.
Kabar ini langsung menyulut reaksi global. Sebab yang dilibatkan bukan hanya dua negara, melainkan seluruh sistem yang menopang ekonomi, energi, dan perdamaian dunia.
Iran mengancam untuk menutup Selat Hormuz, jalur kecil yang melayani 20% pasokan minyak dunia. Bila ancaman itu diwujudkan, harga minyak bisa melonjak ke $120–$150 per barel. Krisis energi global pun tinggal menunggu waktu.
Negara-negara yang paling banyak mengimpor barang seperti India, Tiongkok, dan Eropa juga akan mengalami ketidakpastian. Biaya logistik meningkat, inflasi meningkat, dan resesi semakin dekat. Satu ledakan di gurun Iran bisa menyebabkan dunia runtuh.
Kelompok G7, yang digadang mendukung demokrasi dan stabilitas, mengeluarkan pernyataan yang menuai kritik, termasuk dukungan penuh terhadap Israel dan menyebut Iran sebagai "sumber utama terorisme."
Ironisnya, tak satu pun kata tentang serangan Israel yang menewaskan ilmuwan nuklir dan warga sipil Iran. Standar ganda pun dipertontonkan tanpa malu-malu.
Israel punya senjata nuklir, tapi tak pernah bergabung dengan Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Iran dihantam sebab program nuklirnya. Ketimpangan ini dikritik keras oleh Lemkin Institute for Genocide Prevention, yang menyebut pernyataan G7 sebagai pengabaian terhadap kejahatan perang dan genosida.
PBB melalui Sekjen António Guterres angkat bicara. Ia menyebut serangan AS sebagai “eskalasi berbahaya” dan mengingatkan bahwa jalan militer takkan pernah jadi solusi. Sidang darurat Dewan Keamanan pun digelar, tapi hasilnya masih kabur. Diplomasi seolah kalah cepat dibanding bom yang dijatuhkan.
Dari dunia Islam, Iran langsung bergerak. Memobilisasi dukungan yang diberikan oleh negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OIC). Seruan kolektif dilayangkan, dengan tudingan bahwa agresi Israel dan dukungan AS melanggar Piagam PBB. OIC merespons dengan sidang darurat di Istanbul, dan mengecam keras serangan tersebut.
Sekalipun, respons dunia Islam terpecah. Arab Saudi, Mesir, Qatar, dan Yordania menyerukan dialog damai. Di sisi lain, kelompok seperti Hamas dan Houthi Yaman justru mengambil sikap lebih keras.
Houthi menyatakan dukungan penuh atas hak Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir, sementara Hamas mengingatkan AS untuk tidak melanjutkan keterlibatannya.
Indonesia sendiri bersikap tegas tapi tetap terukur. Pemerintah mengecam agresi militer dari dua belah pihak, dan mendesak penyelesaian lewat diplomasi. Segera setelah itu, evakuasi warga Indonesia dari Iran dimulai.
Status KBRI Teheran dinaikkan ke siaga satu. Pemerintah memindahkan 97 WNI melalui jalur darat ke Azerbaijan dan bersiap mengevakuasi sisanya.
Kementerian Luar Negeri juga mengeluarkan imbauan: tunda perjalanan ke kawasan konflik. Wilayah seperti Iran, Israel, Palestina, Suriah, Lebanon, dan Yaman dianggap berisiko tinggi. TNI disiagakan, pasalnya saat diplomasi mandek, negara mesti melindungi warganya.
Kini, dunia menahan napas. Ketika standar ganda menjadi kompas diplomasi, dan kekuatan militer lebih didengar daripada hukum internasional, maka dunia bukan semata berhadapan dengan perang, justru krisis keadilan.
Pertanyaannya: akankah nalar dan diplomasi kembali diberi ruang? Atau justru kita sedang melangkah, pelan-pelan, ke jurang perang global baru? (*)
***
*) Oleh : Heru Wahyudi, Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |