TIMES TANGERANG, TANGERANG – Teknologi hari ini bukan sekadar alat bantu, tetapi sahabat yang menentukan arah masa depan. Ia bagaikan dua sisi mata uang: di satu sisi membuka peluang tanpa batas, di sisi lain menuntut kesiapan untuk beradaptasi.
Di tengah arus digitalisasi yang deras, mahasiswa tidak lagi cukup hanya cerdas secara akademik. Mereka harus kreatif, kritis, dan inovatif agar teknologi tidak sekadar menjadi hiburan, tetapi jembatan menuju kemandirian.
Saya sendiri, sebagai mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan di Universitas Pamulang, merasakan langsung bagaimana teknologi mengubah wajah pendidikan tinggi. Dulu, belajar hanya bisa dilakukan di ruang kelas dengan tatap muka.
Kini, sistem Blended Learning memadukan pertemuan luring dan daring melalui platform MENTARI (Manajemen Terpadu Pembelajaran Daring). Mahasiswa dapat mengakses materi, tugas, forum diskusi, hingga ujian kapan saja melalui situs mentari.unpam.ac.id. Dengan hanya satu akun MyUNPAM, seluruh aktivitas akademik tersambung secara digital.
Transformasi ini tidak hanya mempermudah, tetapi juga mengubah cara berpikir. Mahasiswa tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Saya bisa berdiskusi dengan teman lintas kampus, mengakses jurnal internasional, atau mengikuti kelas tambahan dari luar negeri tanpa harus meninggalkan pekerjaan.
Teknologi membuat belajar menjadi lebih fleksibel, mandiri, dan berkelanjutan. Pendidikan kini bukan lagi kegiatan formal yang kaku, melainkan perjalanan tanpa batas yang dipandu oleh konektivitas dan kreativitas.
Lebih jauh, teknologi telah mengubah wajah kolaborasi. Jika dulu kerja kelompok identik dengan duduk bersama di ruang sempit, kini cukup dengan satu sentuhan jari. Aplikasi seperti Google Workspace, Microsoft Teams, atau Trello memungkinkan mahasiswa bekerja lintas jarak dan waktu.
Ide-ide besar dapat lahir dari layar kecil, dan kerja tim bisa tetap hidup meski tanpa tatap muka. Kolaborasi digital bukan hanya tren, tetapi keharusan bagi mahasiswa untuk menyiapkan diri menghadapi dunia kerja yang serba adaptif dan kolaboratif.
Namun, kehebatan teknologi tidak berhenti pada ruang kuliah. Ia juga membuka pintu menuju kemandirian ekonomi. Banyak mahasiswa kini mulai melangkah ke dunia usaha digital. Mereka menciptakan konten edukatif, mengelola online shop, menawarkan jasa kreatif, hingga mengembangkan aplikasi.
Fenomena ini menunjukkan perubahan besar. Mahasiswa tidak lagi sekadar pengguna teknologi, melainkan produsen inovasi. Dari ruang-ruang digital itulah muncul semangat wirausaha baru yang menumbuhkan budaya kreatif dan berdaya saing tinggi di kalangan generasi muda.
Kemandirian finansial melalui usaha digital juga menjadi bentuk pendidikan karakter yang nyata. Mahasiswa belajar tentang tanggung jawab, manajemen waktu, serta kemampuan memecahkan masalah.
Mereka belajar bahwa keberhasilan tidak datang dari teori saja, tetapi dari kemampuan mengolah ide menjadi karya. Di sinilah teknologi berperan sebagai jembatan antara pengetahuan dan praktik, antara teori dan kemandirian hidup.
Namun, di balik peluang besar itu, ada tantangan yang tidak bisa diabaikan. Tidak semua mahasiswa memiliki kecakapan digital yang memadai. Masih banyak yang terjebak menjadi konsumen pasif teknologi sibuk menggulir media sosial tanpa arah, mengonsumsi informasi tanpa verifikasi, atau bahkan kehilangan fokus akibat candu gawai. Lebih dari itu, ancaman kebocoran data pribadi dan penyebaran hoaks menjadi bayang-bayang serius bagi generasi akademik.
Literasi digital menjadi kunci. Mahasiswa perlu mengasah kemampuan berpikir kritis, menjaga etika digital, dan memanfaatkan teknologi secara produktif. Literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan aplikasi, tetapi pemahaman tentang bagaimana teknologi memengaruhi cara berpikir, berinteraksi, dan berkehidupan. Tanpa literasi, teknologi justru bisa menjauhkan manusia dari makna belajar yang sesungguhnya.
Teknologi harus dihadapi dengan kesadaran, bukan hanya keterampilan. Ia adalah alat yang netral bisa menjadi jembatan menuju kemajuan, atau jebakan yang menenggelamkan.
Di tangan mahasiswa yang bijak, teknologi menjadi ruang untuk mencipta, berbagi, dan menginspirasi. Tapi di tangan yang lalai, ia bisa menjadi candu yang membunuh daya pikir.
Karena itu, pendidikan tinggi perlu memastikan bahwa teknologi tidak hanya diintegrasikan secara teknis, tetapi juga filosofis. Mahasiswa harus didorong untuk memahami makna di balik inovasi: bahwa belajar daring bukan hanya soal efisiensi, melainkan cara baru untuk memperluas wawasan dan memperdalam tanggung jawab. Dunia digital harus menjadi ruang untuk tumbuh sebagai manusia yang berpikir, bukan sekadar pengguna yang mahir mengklik.
Teknologi hari ini adalah sahabat perubahan. Ia mempertemukan ilmu dan kehidupan, menghapus sekat ruang, dan membuka peluang tanpa batas. Namun sahabat, betapapun hebatnya, tetap membutuhkan arah dan bimbingan.
Jika mahasiswa mampu memanfaatkan teknologi dengan kesadaran, kritisisme, dan kreativitas, maka masa depan bukan lagi teka-teki, melainkan ruang luas yang siap diisi oleh karya dan pengabdian. (*)
***
*) Oleh : Rakhmat Fauzi, Magister Manajemen Pendidikan, Universitas Pamulang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |