https://tangerang.times.co.id/
Forum Mahasiswa

Pendidikan yang Melanggengkan Kemiskinan

Jumat, 07 November 2025 - 12:42
Pendidikan yang Melanggengkan Kemiskinan Muhamad Razbi Cipta Ilahi, Mahasiswa S1 Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang.

TIMES TANGERANG, TANGERANG – Pendidikan diakui secara umum sebagai pilar yang sangat penting bagi kemajuan peradaban dan instrumen utama bagi kemajuan sosial masyarakat. Namun, perbincangan mengenai pendidikan masyarakat sering kali membaginya menjadi dua kelompok yaitu ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama. Terutama pengabaian terhadap ilmu pengetahuan umum padahal kedua ilmu tersebut seharusnya saling berkesinambungan.

Akses terhadap pendidikan berkualitas sejak usia dini merupakan sebuah faktor yang paling signifikan bagi kemajuan setiap masyarakat. Ada beberapa hal dalam masyarakat yang menyebabkan adanya kesenjangan pendidikan sehingga tidak mendapatkan akses tersebut. 

Bukan hanya masalah teknis ketersediaan infrastruktur, tetapi juga masalah kualitas pemikiran masyarakat yang memiliki paradigma kultural yang dianut dalam memahami pendidikan dan memberikan pemahaman itu kepada keluarganya. 

Fenomena ini yang memisahkan antara masyarakat yang sejak awal melek terhadap "Pendidikan Grade A" dengan masyarakat yang hanya mengedepankan pendidikan agama.

Masyarakat pertama, yang memperoleh bimbingan dan paparan ilmu pengetahuan secara sistematis, cenderung berpikir seperti apa yang dikemukakan oleh sosiolog Pierre Bourdieu sebagai "kapital kultural" dan "kapital intelektual". Modal ini termanifestasi dalam bentuk kapasitas kognitif yang superior, kemampuan berpikir kritis, dan rasa percaya diri yang tinggi. 

Bagi mereka, pendidikan adalah instrumen pemberdayaan yang membuka wawasan, memberikan kejelasan arah, dan menanamkan keyakinan untuk menavigasi kompleksitas kehidupan, termasuk dalam menentukan jalur pendidikan tinggi dan karier profesional.

Di sisi lain, kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses serupa sering kali terperangkap dalam keterbatasan wawasan. Masalah ini menjadi lebih pelik ketika lingkungan sosial-kultural mereka secara aktif mengesampingkan pentingnya ilmu pengetahuan umum.

Dalam konteks ekonomi global yang didorong oleh inovasi dan perkembangan teknologi, kemampuan untuk beradaptasi dan bertransformasi bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah keniscayaan untuk bertahan hidup. Ilmu pengetahuan umum itu sendiri mencakup literasi, numerasi, sains, dan keterampilan digital yang berfungsi sebagai perangkat adaptif fundamental. 

Masyarakat yang gagal dalam menguasai kompetensi ini, sering kali meremehkan bahwa ilmu pengetahuan umum hanya sekadar "ilmu dunia", secara langsung berakibat pada ketidakmampuan nya untuk bersaing di pasar tenaga kerja.

Ini mengarah pada apa yang disebut sebagai "kemiskinan struktural", sebuah kondisi di mana kemiskinan bukanlah akibat dari kemalasan individu, melainkan akibat dari sistem yang tidak memberikan kesempatan setara dalam perolehan modal intelektual. 

Ketika sebuah kelompok masyarakat hanya menekankan satu jenis pengetahuan (misalnya, ritual keagamaan) sambil mengabaikan pengetahuan fungsional, kelompok masyarakat tersebut secara kolektif mengurangi kapasitasnya dalam menyesuaikan diri. Akibatnya, mereka menjadi rentan secara ekonomi, finansial, dan sosial.

Paradigma yang melihat ilmu pengetahuan hanya sebagai "cara bertahan hidup" pun sebetulnya merupakan penyederhanaan. Pendidikan berkualitas menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya untuk survival, tetapi untuk thriving (berkembang) menciptakan nilai, menyelesaikan masalah kompleks, dan pada akhirnya, memberikan kontribusi positif yang sesungguhnya bagi masyarakat luas.

Akar masalah yang paling mendalam terletak pada kesalahan berpikir antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Paradigma ini sering kali didorong oleh pandangan teologis yang sempit, yang menanamkan doktrin bahwa fokus tunggal pada ritual dan studi agama adalah satu-satunya jalan keselamatan, sementara pengejaran kesejahteraan duniawi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu diperhatikan, bahkan tercela.

Pandangan ini memiliki dua konsekuensi yang merusak. Pertama, ia menciptakan "mentalitas terisolasi" yang bertentangan terhadap pengetahuan baru, inovasi, dan perubahan. Individu didorong untuk menerima kondisi penderitaan material (seperti kemiskinan) sebagai ujian kesabaran atau takdir ilahi, daripada sebagai masalah yang harus diselesaikan melalui akal (rasio) dan usaha (ikhtiar). Ini adalah bentuk melarikan diri dari realitas kehidupan yang di sah kan ketidakmampuan dan kebodohan itu atas nama kesalehan.

Kedua, paradigma ini secara ironis bertentangan dengan esensi dari banyak ajaran agama itu sendiri. Dalam konteks Islam, misalnya, terdapat prinsip tawazun (keseimbangan) antara dunia (alam material) dan akhirat (alam spiritual). 

Ajaran ini secara eksplisit menuntut umatnya untuk tidak melupakan bagian mereka di dunia. Penekanan pada keseimbangan ini mengindikasikan bahwa pengelolaan kehidupan duniawi melalui ilmu pengetahuan, ekonomi, dan tata kelola yang baik adalah bagian integral dari pemenuhan kewajiban spiritual.

Argumen yang sering diabaikan oleh penganut pikiran sempit adalah ketergantungan yang mendasar antara kesejahteraan material dan kekhusyukan spiritual. Secara psikologis, manusia tidak dapat mencapai aktualisasi diri termasuk pemenuhan spiritual jika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. 

Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow memberikan kerangka kerja sekuler yang relevan untuk memahami hal ini: kebutuhan fisiologis (pangan, sandang, papan) dan kebutuhan akan rasa aman (bebas dari hutang, stabilitas finansial) harus dipenuhi sebelum seseorang dapat fokus secara penuh pada kebutuhan yang lebih tinggi, seperti ibadah dan refleksi spiritual.

Retorika yang mempertanyakan, "Bagaimana seseorang bisa khusyuk beribadah jika perutnya lapar dan terjerat utang?" bukanlah sebuah sinisme, melainkan sebuah pengakuan jujur atas realitas manusiawi. 

Mustahil bagi seseorang untuk memberikan kontribusi intelektual atau spiritual (seperti berdakwah atau mengajar) secara ikhlas dan efektif jika kondisi domestik mereka berada dalam krisis finansial.

Sejarah kenabian sendiri memberikan contoh yang kuat. Nabi Muhammad SAW, sebelum memulai misi kenabiannya, adalah seorang pedagang yang sukses dan mapan. 

Stabilitas ekonomi ini memberinya independensi dan sumber daya untuk fokus pada penyebaran risalah. Ini memberikan pelajaran bahwa kecukupan material adalah fondasi bukan halangan bagi perjuangan spiritual dan intelektual. 

Menyalahkan entitas eksternal seperti "setan" atas ketidakkhusyukan yang disebabkan oleh kelaparan atau stres finansial adalah pengalihan tanggung jawab dari kegagalan sistemik dalam menerapkan ilmu pengetahuan untuk manajemen kehidupan.

Jalan keluar dari kebuntuan ini adalah reintegrasi dan tidak lagi memisahkan atau hanya berfokus pada satu keilmuan namun yang satunya dikesampingkan begitu saja. Ilmu agama dan ilmu umum tidak boleh dilihat sebagai dua entitas yang bersaing, melainkan sebagai dua sayap dari satu burung yang sama. 

Ilmu agama memberikan kompas moral dan tujuan akhir, sementara ilmu pengetahuan umum menyediakan metode, alat, dan kapasitas teknis untuk mencapai tujuan tersebut di dunia nyata.

Sejarah peradaban Islam, khususnya pada Era Keemasan (The Islamic Golden Age), adalah bukti nyata paling kuat dari keberhasilan perpadua keilmuan ini. Para ilmuwan polimatik seperti Ibnu Sina (Avicenna), Al-Khawarizmi, Ibnu Rusyd (Averroes), dan Al-Biruni adalah para ahli agama sekaligus pakar dalam kedokteran, matematika, astronomi, filsafat, dan logika. 

Mereka tidak melihat adanya kontradiksi antara iman dan akal. Bagi mereka, meneliti alam semesta (ilmu umum) adalah bentuk ibadah untuk memahami keagungan Sang Pencipta.

Namun, yang terjadi hari ini adalah sebaliknya di mana terdapat pemisahan kaku dan bahkan permusuhan antara kedua domain ilmu adalah sebuah anomali historis. 

Untuk maju, kelompok masyarakat harus kembali ke paradigma memadukan kedua ilmu tersebut, di mana menekuni ilmu agama ditopang oleh penguasaan ilmu pengetahuan umum yang mumpuni.

Observasi bahwa banyak masyarakat non-Muslim mencapai tingkat kesejahteraan material yang lebih tinggi bukanlah argumen teologis bahwa "dunia adalah surga bagi mereka". Sebaliknya, ini adalah kesimpulan sosiologis yang logis. 

Kesejahteraan tersebut dicapai karena paradigma berpikir mereka lebih visioner, terbuka, dan pragmatis dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memecahkan masalah-masalah duniawi. Mereka tidak terbebani oleh kesalahan berpikir yang melarang eksplorasi intelektual.

Jika "surga" dipahami sebagai kondisi kesejahteraan, kedamaian, dan kemampuan untuk bermanfaat bagi sesama, maka jalan menuju ke sana tidak tunggal. Jalan tersebut menuntut kombinasi antara kecerdasan spiritual dan kecerdasan intelektual.

Kesenjangan pendidikan yang berakar dari pengabaian ilmu pengetahuan umum atas nama agama adalah sebuah tragedi. Ia tidak hanya melanggengkan kemiskinan material, tetapi juga mengkhianati amanah intelektual yang terkandung dalam ajaran agama itu sendiri. 

Untuk membangun peradaban yang sejahtera secara keseluruhan, adil secara sosial, makmur secara ekonomi, dan kokoh secara spiritual. Maka, langkah pertama adalah meruntuhkan tembok pemisah antara akal dan iman, serta mengakui bahwa pendidikan yang seimbang adalah hak asasi manusia yang paling mendasar. (*)

***

*) Oleh : Muhamad Razbi Cipta Ilahi, Mahasiswa S1 Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Tangerang just now

Welcome to TIMES Tangerang

TIMES Tangerang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.